Zaman Orde Baru (Orba) di Indonesia merujuk pada periode pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, dimulai setelah pengunduran diri Presiden Soekarno pada tahun 1966 dan berakhir pada tahun 1998 setelah terjadinya Reformasi. Era Orde Baru dicirikan oleh stabilitas politik dan pembangunan ekonomi yang signifikan. Meskipun demikian, Orba juga dicap sebagai masa otoriter dengan pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan praktik korupsi yang merajalela.
Karakteristik Zaman Orde Baru
Stabilitas Politik dan Pembangunan Ekonomi: Orba berhasil menciptakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat, terutama pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an. Kebijakan ekonomi yang diimplementasikan berhasil mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sentralisasi Kekuasaan: Pemerintahan Soeharto menekankan kontrol sentralisasi kekuasaan di tangan pemerintah pusat. Hal ini ditandai dengan pembentukan lembaga-lembaga seperti BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) untuk pengawasan dan kontrol.
Korupsi dan Nepotisme: Meskipun pembangunan ekonomi tumbuh pesat, era Orde Baru juga dikenal karena maraknya korupsi dan nepotisme di kalangan penguasa. Keluarga Soeharto dan lingkaran elit pemerintahan dinilai telah memperkaya diri dengan cara yang tidak transparan.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Zaman Orde Baru juga dicirikan oleh pelanggaran hak asasi manusia yang signifikan. Terutama terkait dengan kasus-kasus seperti penculikan, penyiksaan, dan penahanan politik yang terjadi di masa itu.
Ketidakbebasan Berpendapat dan Memilih: Kebebasan berpendapat dan berkumpul dibatasi, media dikendalikan, dan partai politik dibatasi keberadaannya sehingga proses demokrasi tidak berjalan dengan sebenarnya.
Akhir Orde Baru dan Masa Reformasi
Kondisi politik dan ekonomi yang semakin buruk serta meningkatnya ketidakpuasan terhadap pemerintahan Soeharto memicu gerakan reformasi pada tahun 1998. Demonstrasi besar-besaran dari berbagai elemen masyarakat akhirnya memaksa Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden. Hal ini membuka jalan bagi transisi politik yang berujung pada era Reformasi di mana kebebasan berpendapat, pers, serta hak asasi manusia kembali dihargai.
Surat Perintah Sebelas, atau yang sering disebut dengan SP-11, merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang terjadi pada tanggal 11 Maret 1966. Peristiwa ini terkait dengan pengunduran diri Presiden Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Pada saat itu, kondisi politik di Indonesia sedang tidak stabil. Terdapat ketegangan politik dan ekonomi yang tinggi akibat krisis ekonomi yang melanda negara ini. Pemerintahan Soekarno dinilai telah gagal dalam mengatasi masalah tersebut. Selain itu, terdapat ketidakpuasan terhadap kebijakan politiknya yang dianggap otoriter.
Maka, pada tanggal 11 Maret 1966, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan rapat yang dipimpin oleh Ketua DPR waktu itu, yaitu Chaerul Saleh. Pada rapat tersebut, DPR mengadakan sidang istimewa yang membahas situasi politik yang kritis. Di tengah rapat tersebut, hadir Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang pada saat itu juga sedang sakit.
Dalam suasana rapat yang tegang, para anggota DPR menyampaikan mosi tidak percaya terhadap Presiden Soekarno. Akhirnya, DPR mengeluarkan Surat Perintah Sebelas (SP-11) yang menekankan bahwa Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya karena dinilai tidak mampu lagi menjalankan tugas-tugasnya sebagai Presiden.
Dengan dikeluarkannya SP-11, kekuasaan diambil alih oleh Letnan Jenderal Soeharto, yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Darat. Peristiwa ini membuka jalan bagi terbentuknya pemerintahan baru di Indonesia, yang kemudian dikenal dengan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Pengunduran diri Soekarno dan pengambilalihan kekuasaan oleh Soeharto melalui SP-11 membawa perubahan signifikan dalam politik Indonesia. Era Orde Baru yang dimulai setelah peristiwa tersebut mengubah dinamika politik dan pemerintahan Indonesia secara drastis.
Kesimpulan
Zaman Orde Baru di Indonesia menciptakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, namun juga dicap sebagai masa otoriter dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan pembatasan kebebasan politik. Era Orde Baru berakhir setelah gerakan reformasi di tahun 1998 yang membawa perubahan signifikan dalam sistem politik dan sosial Indonesia. Reformasi ini memperkenalkan elemen-elemen demokrasi yang lebih terbuka dan inklusif dalam kehidupan politik negara.